| Judul | KAPASARI |
| Penulis | Achmad Supardi |
| Ukuran, halaman | 15,5 x 23.5 cm, xi + 217 hal |
| ISBN | on proses |
Landai. Terlalu Landai. Kadang Rahmat takut menuliskan kisah ini. Pemicunya satu saja dan itu fatal: garis hidup. Perjalanan hidupnya tampak landai-landai saja, grafik naik-turunnya tak setajam garis yang tercetak di kertas ECG. Lahir dan besar dari keluarga Madura yang tinggal di kampung kumuh tepi rel kereta api di Surabaya, jelas
ia bukan anak dari pedalaman macam Andrea Hirata. Rahmat tak pernah mengecap serunya hidup di pondok pesantren yang menempa dan memperkaya Ahmad Fuadi menjadi jurnalis dan penulis ternama. Pun, meski keluarganya sepertinya ‘sesusah’ keluarga Iwan Setyawan, namun jelas prestasi Rahmat tak ada apa-apanya dibanding penakluk the big apple New York itu. Namun, di antara hidupnya yang landai itu, Rahmat menyimpan fragmen-fragmen tajam. Ia adalah sarjana pertama dan satu-satunya di kampung yang dulu terkenal dengan judi merpatinya, lalu judi bola. Posisinya makin menonjol di kampungnya, juga di desa bapak dan ibunya karena ia meraih pekerjaan yang sama sekali bukan khas Madura: wartawan. Ia diundang berhaji dengan status tamu Raja Arab Saudi. Namanya makin cemerlang saat sukses meraih beasiswa pascasarjana ke Inggris. Banyak harapan digantungkan padanya. Namun, Rahmat yang sangat lurus seperti lahir bukan di masanya. Ia mungkin pintar, tapi naif. Ia selalu terdorong membantu orang lain, namun strateginya mentah. Ia terus menerus diminta maju, namun yang ia kumpulkan hanyalah prasasti-prasasti kegagalan. Saat ia mencari tenang di Regent’s Park, London, warga kampungnya tetap mandi di kamar mandi umum hanya 4 meter dari rel kereta. Kala mereka antre buang hajat di WC umum, ratusan pasang mata penumpang kereta akan tertuju pada mereka. Rahmat bertanya-tanya, apakah benar dirinya takkan bisa berbuat apa-apa demi warga kampungnya?